A. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von
Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
B.
Klasifikasi Rhinitis Alergi
Dahulu
rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1.
Rinitis alergi musiman (seasonal, hay
fever, polinosis)
2.
Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala
keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi :
1.
Intermiten (kadang-kadang): bila gejala
kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2.
Persisten/menetap bila gejala lebih dari
4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan
untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1.
Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu
atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al, 2001).
1. Classification
of allergic rhinitis according to ARIA
1.
Intermittent means that the symptoms are present <4 days a week Or for
<4 consecutive weeks
2. Persistent
means that the symptoms are present More than 4 days a
week And for more than 4 consecutive
weeks
3. Mild
means that none of the following items are present:
• Sleep disturbance
• Impairment of daily activities,
leisure and/or sport • Impairment of school or work
• Symptoms present but not troublesome
4. Moderate/severe
means that one or more of the following items are present: • Sleep
disturbance
• Impairment of daily
activities, leisure and/or sport
•
Impairment of school or work
•
Troublesome symptoms
|
Tabel.
Klasifikasi Rhinitis Alergi menurut ARIA-WHO
C.
Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara
lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams,
Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan
pada dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan
faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan
cara masuknya allergen dibagi atas:
· Alergen
Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
· Alergen
Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
· Alergen
Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
· Alergen
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
D. Epidemiologi
Rinitis
alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak 10-20% populasi.
Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar
10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10% (Madiadipoera, 2009). Prevalensi
rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya (Nurcahyo dan Eko, 2009).
Tomonaga,
Kurono dan Mogi (1987) melaporkan hasil penelitian tentang rinitis alergi dan
terjadinya otitis media efusi, 21% dari subjek rinitis alergi mengalami otitis
media efusi. Sente, et al., (2001) melaporkan 86,5% timpanogram tipe B
dan 13.5% tipe C dari subjek rinitis alergi. Nguyen, et al., (2004)
melaporkan hasil penelitian bahwa pada subjek dengan atopi, inflamasi alergi
terjadi pada kedua sisi tuba Eustachius, kedua telinga tengah dan nasofaring.
Lazo
Saenz, et al., (2005) melaporkan penelitian mengenai disfungsi tuba
Eustachius pada subjek rinitis alergi pada 80 orang subjek rinitis alergi dan
50 orang normal dilakukan pemeriksaan skin prick test dan timpanometri,
dilaporkan hasil timpanometri yang signifikan pada subjek rinitis alergi
(P<0.05) terutama pada anak umur di bawah 11 tahun, di kelompok rinitis
alergi didapatkan 16% timpanogram abnormal (13% tipe C dan 3% tipe B) sedangkan
di kelompok kontrol seluruhnya dengan timpanogram tipe A.
Kudelska,
et al., (2005) melakukan pemeriksaan audiometri dan timpanometri pada 30
subjek rinitis alergi seasonal dan 30 subjek rinitis alergi perennial.
Hasilnya pada subjek rinitis alergi perennial ditemukan gangguan
pendengaran tipe konduktif 26,7% dengan gambaran timpanogram tipe B dan tipe C
masing-masing 20% sedangkan pada subjek rinitis alergi seasonal ditemukan
gangguan pendengaran tipe konduktif 10% dengan gambaran timpanogram tipe B
3,33% dan tipe C 6,67%. Skoner (2009) melaporkan penelitian dari subjek otitis
media efusi, terdapat 50% menderita rinitis alergi.
Karya,
et al., (2007) dalam studi mengenai pengaruh rinitis alergi sesuai
klasifikasi ARIA-WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius pada 30
orang subjek rinitis alergi dan 30 orang normal yang dilakukan pemeriksaan
timpanometri menemukan rinitis alergi terdiri atas rinitis alergi intermitten
ringan 4 orang (13,3%), rinitis alergi persisten ringan 11 orang (36,7%),
rinitis alergi intermitten sedang-berat 1 orang (3,3%), rinitis alergi
persisten sedang- berat 14 orang (46,7%). Dari subjek rinitis alergi ada 1
orang (3,3%) timpanogram tipe B, 3 orang (10%) timpanogram tipe C dan sisanya
26 orang (86,7%) tipe A. Dari semua subjek yang ada kelainan timpanometri,
semuanya adalah dengan persisten sedang-berat. Pada kelompok kontrol semuanya
normal.
Wulandari
(2010) melaporkan penelitiannya tentang hubungan rinitis alergi dengan
penurunan tekanan udara telinga tengah, dimana menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara rinitis alergi dengan penurunan tekanan telinga tengah P =0,001;
OR 3,6; KI 95%.
Beberapa
penelitian yang terkait melaporkan bahwa OMSK tipe benigna mempunyai hubungan
dengan faktor alergi yang sudah lazim terjadi selalu diawali oleh gangguan
fungsi tuba Eustachius. Suparyadi pada tahun 1990 di Semarang dalam
penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% subjek
kemungkinan mempunyai faktor alergi. Susilo (2010) melaporkan terdapat hubungan
yang signifikan antara alergi dengan OMSK benigna.
A. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi
yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada
kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian
sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4
dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen
yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3,
IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin
akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada
RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1
pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi
oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara
mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan
terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal.
Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari:
1.
Respon primer
Terjadi proses
eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2.
Respon sekunder
Reaksi
yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang
sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon
tersier.
3.
Respon tersier
Reaksi
imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell
dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT
adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
F. Gejala
Gejala
utama rinitis alergi adalah bersin, ingus encer dan hidung tersumbat. Gejala
alergi lainnya, antara lain hidung gatal, penciuman berkurang, batuk kronis dan
gangguan pendengaran. Gejala dan tanda tersebut dapat disertai gejala lain
apabila melibatkan organ sasaran lain seperti palatum, faring, laring, telinga,
kulit,mata dan paru (Dhingra, 2007).
Pada
pemeriksaan di hidung sering tampak mukosa nasal pucat dan udematous, konka
membengkak, ingus encer seperti air. Sedangkan pada telinga sering di jumpai
retraksi pada membran timpani dan otitis media efusi sebagai akibat dari
sumbatan pada tuba Eustachius (Dhingra, 2007).
Gatal-gatal
pada hidung sehingga hidung sering diusap-usap keatas dapat terjadi allergic
salute. Hal ini karena mencoba untuk mengurangi rasa gatal dan sumbatan
dari hidung. Warna kehitaman pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan
disebut Allergic Shinners. Perubahan ini mungkin karena adanya statis
dari vena yang disebabkan udema dari mukosa hidung dan sinus. Karena bernafas
melalui mulut, mulut menganga dan mungkin disertai dengan maloklusi dari gigi
disebut Adenoid Facies/Sad Looking Face. Hal ini disebabkan obstruksi
karena udema yang disebabkan alergi dan pembesaran tonsil/adenoid.
Tahun
1984 Dr. Jhon Boyles pada makalahnya dalam kongres Otologi in Chicago
menyatakan bahwa dari 300 subjek alergi didapatkan dizziness 59%, tinitus
25%, otalgia 15%, otitis media serosa 10%, gangguan pendengaran 10%, infeksi
telinga tengah 5%, gatal-gatal pada kanalis akustikus externus 5%. Peradangan
telinga tengah sering juga disebabkan karena alergi. Sebagai organ sasaran
adalah tuba Eustachius. Jika terdapat infeksi telinga tengah yang persisten
adanya faktor alergi jangan diabaikan. Shambough dalam penelitian pada
anak-anak, 75% dari otitis media serosa disebabkan karena alergi (Madiadipoera,
2009).
G. Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis
sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah
keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin
lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari
satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif
(Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan
Fisik
Pada
muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic
crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga
bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung
tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang
encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung
yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan
Penunjang
1) In vitro
Hitung
eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
(Irawati, 2002).
2) In
Vivo
Alergen
penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. KeuntunganSET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge
Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
H. Penatalaksanaan
1.
Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2.
Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin
yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif
pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling
sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan
hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid,
flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat
antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor
(Mulyarjo, 2006).
b. Operatif
- Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage,
Sciinneider, 2001). Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan
medikamantosa gagal. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drainase hidung
serta mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai (Dhingra, 2007).
c. Imunoterapi
- Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan (Mulyarjo, 2006).
I. Komplikasi
a. Polip
hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi
sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T
CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis
media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis
paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga
sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri
anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP)
dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
Referensi:
· http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33916/4/Chapter%20II.pdf
0 komentar:
Posting Komentar